Larangan Meminta Jabatan

Posting Komentar





Majalah Online - Sebagaimana yang kita ketahui bersama pada pembahasan sebelumnya adalah bahwasanya pemimpin itu semata-mata bukan hanya sekedar profesi atau mungkin sebagai suatu alat ukur dari tingkatan sosial dimasyarakat, tetapi disamping itu jauh lebih penting adalah bagaimana memaknai pemimpin itu sendiri, dalam hal ini pemimpin dapat diartikan adalah orang yang memang dianggap memiliki kemampuan dan memiliki nilai sosial yang tinggi terhadap apa yang dipimpinnya disamping kewajiban atau syarat-syarat lain yang memang sudah digariskan oleh syariat islam.

Dalam kaitannya ketika seseorang merasa memiliki kemampuan dan memiliki potensi yang kuat untuk memimpin segelintir orang, maka bukan tidak boleh dia mengajukan diri sebagai pemimpin dalam kelompok tersebut, yang memang tanpa didasari sikap yang berlebih-lebihan, sikap ambisi yang kuat, serta tidak mengharapkan hal lain dari apa yang dicapainya tersebutnya, karena pada dasarnya pemimpin itu memang suatu hal yang wajib, sebagai salah satu sarana menyatukan aspirasi dan sebagai pemersatu ummat dikala terpecah belah, maka dari pada itu dibutuh kan lah pemimpin yang memang betul-betul memiliki nilai inteligiensi yang kuat, sabar, dll, pada kesempataan kali ini saya akan mencoba sedikit mengupas mengenai masalah pemimpin, terkhusus kepada hal “TIDAK DISUKAI MEMINTA JABATAN” yang diambil dari sumber Hadits Abd al-Rahman bin Samurah.

  •     Tidak Disukai Meminta Jabatan
    (Hadits Abd al-Rahman bin Samurah)
Berangkat dari satu Hadits
Rasulullah saw. pernah menasehatkan kepada ‘Abdu al-Rahman bin Samurah ra:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُوطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُوطِيتَهَا منْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
   
Artinya:
Dari Abdu al-Rahman bin Samurah raberkata: "Rasulullah sawbersabda kepada saya: "Wahai Abdu al-Rahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan/jabatan, karena sesungguhnya engkau jika diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut. Dan jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong dalam menjalankannya.[1]

Dari hadits diatas, terkhusus hanya dilaraang meminta, dan menuntut suatu wewenang dalam arti luas, atau jabaatan dalam arti sempit, hanya berdasar kepada kesungguhan belaka atu hanya sekedar ambisi pribadi, bahwasanya ketika jabatan tersebut telah dapat, maka hal tersebut akan menjadai suatu masalah atau suatu beban bagi kita. Dapat lah dipahami bahwa seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah SWT, untuk meminpin rakyat, yang diakhirat kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya, sesungguhnya ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah SWT, kelak di akhirat. Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagaai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja dari rakyatnya, akan tetapi, sebaliknya ia harus berusaha memosisikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.
Dari sebuah hadist yang diterima dari Siti Aisyah dan diriwayatkan oleh Imam muslim, Nabi SAW pernaah berdoa, 
“ Ya allah, siap yang menguasai sesuatu dari urusan umat ku lalu memppersulit mereka, maka persulitlah baginya, dan siapa yang mngurusi umatku dan berlemah lembut pada mereka, maka permudahlan baginya.”[2]  
Hal itu lah yang mendasari kekhwatiran kebanyakan dari kita oleh sebab itu larangan akan meminta jaabatan karena maksud tertentu dan karena ambisi semata di haramkan demi kemashlahatan umat. Dalam hadits lain contohnya yang memiliki kaitan erat dengan hal diatas adalah “Kami tidak mengangkat orang yang berambisi berkedudukan. (HR. Muslim)
Dalam hadits lain dengan nada yang serupa menjelaskan 

“Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyelasalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat”. Al-Imam Nawawi rahimahullah memaparkan dalam hal tersebut “larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan.”[3]
 
Tetapi dikalaulah seorang yang memang dipandang mampu menjalankan amanat tersebut, dan memenuhi persyaratan menjadi seorang pemimpin dalam kaidah syariaat Islam dan orang tersebut diminta untuk menyandang jabatan tersebut yang tentunya dengan tujuan  unutk kemaslahtan tentunya hal itu suatu kewajiban bagi orang tersebut untuk menerima amanat itu sebagai mana dalam penjelasan hadit tersebut, “ Barangsiapa diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkannya, maka Allah SWT tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat. (HR. Ahmad).[4]

Itulah salah satu indikasi yang mengharuskan adanya seorang pemimpin yang memang telah dipercayakan oleh Allah SWT untuk memelihara sebagian kecil maupun besar dari hamba Nya di dunia, maka ia harus berusaha untuk memeliharanya dan menjaganya, jika tidak, ia tidak akan merasakan harumnya surga, apalagi merasakan kenikmatan menjadi penghuninya.
    
Tetapi andaikata ketika seseorang tersebut telah diberikan amanat oleh baik Allah SWT, maupun rakyat yang memilihnya berbuat zhalim, dan sewenang-wenang terhadap apa yang tugaskan kepadanya, selaku rakyat haruslah sabar menghadapi pemimpin seperti itu, dan tidak boleh berpaling darinya, sebagaimana hadis tersebut menjelaskan. 

“ Barangsiapa tidak menyukai sesuatu dari tindakan penguasa maka hendaklah bersabar. Sesungguhnya orang yang meniggalkan (membelot) jamaah walaupun hanya sejengkal maka wafatnya tergolong jahiliyah”. (HR. Al-Bukhari Muslim).

Dalam hadis lain disebutkan 

“Kekuatan Allah beserta jama’ah (seluru umat). Barangsiapa membelot maka dia membelot keneraka.” (HR. Attirmidzi).

Itulah beberapa penjelasan mengenai hadits-hadits yang berhubungan dengan kepemimpinan terkhusus kepada “tidak disukainya meminta jabatan”.  Tetapi hal yang perlu diingat adalah pada hakikatnya setiap orang adalah pemimpin (pemelihara) dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya, baik pemimpin negara, pemimpin keluarga,maupun pemimpin bagi dirinya sendiri, dan sesungguhnya kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan diakhirat merupakan jaminan bagi para pemimpin yang adil dan sebaliknya kesengsaraan dan siksaan yang pedih bagi para pemimpin yang tidak adil.

Kesimpulan

Dari hal yang dipaparkan dari beberapa sumber maupun refrensi diatas ada baiknya diambil suatu pembelajaran mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepemimpinan, dan adapun poin-poin tersebut dapat di kemukakan sebagai berikut

  • Dilarang meminta dan menuntut jabatan untuk demi kepentingan pribadi, suatu golongan atau kelompok tertentu.
  • Dilarang menolak amanat ketika dihadapkan dengan masalah kepemimpinan, seperti dicalonkan, di minta, yang tentunya dapat dipaandang adalah orang yang memang layak untuk menjadi seorang pemimpin.
  • Ketika seorang pemimpin tersebut ternyata adalaah seorang yang zhalim yang memang baru diketahui setelah dia menjabat, maka tidak boleh bagi umat ataau rakyat tersebut berbelot atau tidak mengindahkannya.

Daftar  Kepustakaan
  1. Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih, Cet I, Jakarta : Gema Insani Press, 1991.
  2.  Rachmat Syafe’I, Al- Hadis, Bandung : Pustaka Setia, 2000.
  3.  Sjinqithy Djamaluddin, Syarah RIYADHUSH SHALIHIN. Jilid. II, Cet. II; Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008 M/1429 H.
  4. Hakim, Arif Rahman, Kumpulan Hadits Shahih Bukhari Muslim terjemahan dari al-Lu‘lu‘ wal Marjan. Cet. I; Jawa tengah: Insan Kamil Solo, 2011 M.

[1] [1] M. Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih, ( Jakarta : Gema Insani Press, 1991), hal 163.
[2] Rachmat Syafe’I, Al-Hadis, (Bandung : Pustaaka Setia, 2000), Hal 140.
[3] Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Bahjatun Na>z}iri<n Syarh Riya>d}is} S{a>lihi<n, terj. Badrussalam dan A. Sjinqithy Djamaluddin, Syarah RIYADHUSH SHALIHIN, Jilid. II (Cet. II; Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008 M/1429 H), h. 472.
[4] M. Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih, ( Jakarta : Gema Insani Press, 1991), hal 166.

Lainnya:

Posting Komentar