Jual Beli Kredit Dalam Islam

 

Majalah Online -
 Dewasa ini kata “kredit” memang bukan lagi hal yang asing kita dengar di telinga kita, di setiap lapisan masyarakat pastinya pernah mendengar kata-kata itu, pada dasarnya kredit adalah salah satu media transaksi yang bersifat mengikat, dalam artian lain, kita akan membayar tagihan dari kartu kredit tersebut setiap bulannya, tergantung dari pengeluaran yang kita lakukan selama transaksi berlangsung, ditambah dengan bunga yang telah disepakati dari pihak penyedia kartu kredit tersebut. Disisi lain yang dinamakan jual beli kredit adalah, barang atau benda, yang kita beli, hanya saja tidak mencapai harga kontan, dan di cicil dalam waktu tertentu, dengan disertai bunga dalam jumlah tertentu, dan juga harus disertai DP, sebagai ikatan sah antara penjual dan pembeli. Setiap jenis uang yang dikenal pada sistem keuangan modern dan berciri khusus bahwa nilai keuangnnnya sangat jauh melebihi nilai bahan bakunya sebagai barang. Dengan demikian, syarat uang kredit adalah terputusnya hubungan antara nilai tertulis (face value) dan nilai barangnya (actual value).
[1] Jadi, uang model ini tidak dipandang lagi hubungan salah satu nilai ini dengan nilai yang lain atau fisik bahan baku yang dibuat menjadi uang. Dan bisa saja uang-uang kredit adalah uang logam seperti cetakan-cetakan uang kredit yang terbuat dari nikel atau perunggu. Bisa saja berupa uang kertas seperti kertas-kertas banknote, bahkan bisa berupa ikatan tulisan pada daftar-daftar bank dagang.[2] Nah, adapun sikap dan pendapat para ulama terhadap fenomena baru ini berbeda-beda sekitar hakikat uang-uang ini, dan legalitas syara’nya. Terdapat kelompok yang berpendapat bahwa uang-uang ini tidak termasuk uang yang memiliki sifat legalitas syara’ dan dan membatasi yang terdapat emas dan perak karena dua mata uang itu yang beredar pada masa kerasulan, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan uang terbatas pada keduanya.[3]

Seperti yang telah kita maklumi bersama jual beli barang secara tunai diperkenankan, maka juga dibenarkan jual beli dengan pembayaran kemudian, pembayaran kemudian ini dilakukan sesuai dengan tenggang waktu yang disepakati bersama, maupun dilakukan secara angsuran, biasanya disebut kredit.

Dalam Islam transaksi yang kita kenal dengan sistim perkreditan dinamakan Ba’i bidhamanil ajil (jual beli secara berutang/kredit) [4]. Ba’i bidhaman ‘ajil dikenal dengan jual beli tertangguh yaitu menjual sesuatu dengan disegerakan penyerahan barang-barang yang dijual kepada pembeli dan ditangguhkan pembayarannya. Dari segi bentuknya, jual beli ini berbeda dengan ba’i al salam, yang mana pembayaran dilakukan secara tunai, sedangkan pengantaran barang ditangguhkan[5]. Pensyariatan ba’i bidhaman ‘ajil tidak dijelaskan secara khusus tetapi berpedoman kepada keumuman ayat tentang jual beli yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah/2 275 dan Surah Al-Baqarah/2 282 yang membicarakan tentang bolehnya hukum jual beli secara berutang (ba’i al-muajjal). Dalam hadits Riwayat Bukhari dijelaskan bahwa Rasulullah saw pernah membeli makanan secara berutang,

“Dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah saw membeli makanan dari zafar secara tangguh dan baju besinya sebagai jaminan.

 

Kontrak ba’i bidhama ‘ajil tidak dibahas secara khusus dalam kitab klasik, seperti jual beli bertangguh yang lain (al-salam). Namun, Ibnu Qudamah menyatakan bahwa secara ijma’ jual beli secara bertangguh tidak diharamkan.[6] Dengan demikian, hukum jual beli secara bertangguh adalah boleh, akan tetapi perbedaan pendapat muncul ketika terdapat penambahan harga pada jual beli yang dilakukan secara bertangguh. Dalam hal ini Rasulullah saw melarang dua jual beli dalam satu transaksi.” (HR. Tirmidzi). Berdasarkan hadits diatas dapat dipahami bahwa terdapat dua jual beli dalam satu kali transaksi dan hal ini dilarang. 

Perumpamaan jual beli bertangguh adalah ketika penjual berkata, saya jual benda ini secara tunai dengan harga Rp 200.000.-, dan Rp 250.000,-, secara tangguh. Kontrak jual beli seperti ini tidak boleh. Karena tidak dijelaskan mana harga yang ditetapkan dalam jual beli, karena harga yang tidak jelas akan merusak akad jual beli. Namun ijma ulama berpandangan bahwa jual beli secara tertangguh dibolehkan berdasarkan keumuman jual beli sebagai mana yang dijelaskan dalam surat al-Baqarah 275. 

Oleh karena itu, jual beli bertangguh merupakan salah satu dari bentuk jual beli yang disyariatkan. Penambahan harga dalam jual beli ini dibolehkan, sementara penangguhan pembayaran dilakukan dengan syarat bila kedua belah pihak (penjual dan pembeli) menyetujui persyaratan kontrak tersebut.[7] Persoalan lain adalah apakah dibenarkan menjual barang dengan harga kredit yang relatif tinggi dari pada harga tunai?, diantara fuqaha ada yang tidak membenarkannya, dengan alasan bahwa tambahan harga itu berhubungan dengan waktu, yang berarti sama dengan riba, tetapi sebagian ulama membolehkan, sebagaimana yang disebutkan diatas. Dengan alasan alasan pada asalnya boleh, dan nash yang mengharamkannya tidak ada, dan tidak dapat dimasukkan dalam kategoti riba. Atas dasar itu seorang pedagang boleh menaikkan harga secara pantas dan wajar, dan membedakannya antara harga tunai dengan harga kredit selama tidak sampai kepada batas kesewang-wenangan (kedhaliman).[8]

Imam as-Syaukani dalam naitul Authar menerangkan bahwa ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid-billah dan jumhur berpendapat “boleh” berdasarkan umum nya dalil yang menetapkan kebolehannya.

Ustadz A. Hasan dalam soal jawab mengemukakan bahwa dalam Al-Quran dan Hadits, tidak ada larangan membedakan harga tunai dengan harga hutang, dan tidak bisa ditarik-tarik untuk memasukkannya ke dalam riba’ karena riba’ itu ialah memberi hutang dengan perjanjian pembayarannya harus lebih atau memberi hutang lalu menarik untung atas hutang itu. Sama dengan penjualan barang A dengan harga Rp 10,- kepada seseorang dan sebentar lagi barang yang sama dijual kepada yang lainnya dengan harga Rp 12,-.

Dalam contoh lain jika kita coba hubungkan dengan penerapan ba’i bidhaman ‘ajil pada perbankan syariah, dalam sistem kontrak keuangan Islam kontrak ba’i bidhaman ‘ajil telah diaplikasikan pada pembiayan perumahan dan sebagainya, walaupun demikian, jual beli ini baru diperkenalkan dalam sistem keuangan Islam. Dalam praktiknya pihak bank memberi pembiayaan perumahan dan unit kendaraan, dengan menggunakan prinsip ba’i bidhaman ‘ajil misalnya. Pembelian dilakukan secara tertangguh sampai dengan batas waktu yang ditentukan dan dibayar secara angsuran. Tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan kepada pembeli yang mempunyai keinginan untuk memiliki suatu barang atau benda, sementara ia tidak mampu membayar secara tunai. Untuk melakukan pembiayan ba’i bidhaman ‘aji ini pada bank Islam ada beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi diantaranya :

  • Harga jual pada nasabah adalah harga beli barang oleh bank dengan jumlah tambahan harga (lump sump mark up) yang disetujui pihak pembeli. 
  • Surat tanda bukti kepemilikan dipegang oleh bank sebelum seluruh angsuran lunas.
  • Pembayaran utang dimulai saat peminjam telah mampu memperlihatkan hasil usaha. Aplikasi ba’i bidhamal ‘aji pada bank Islam (sistem pembiayan tanpa bunga) disebut juga dengan kredit kepemilikan barang, melalui cara seperti ini masyarakat dapat membeli keperluan rumah tangga, seperti rumah, kendaran dan sebagainya. Adapun pada bank konvensional pembayaran angsuran dikenakan bunga, ditambah dengan harga pokok. Selama utang belum lunas, barang masih menjadi milik bank dan tidak boleh dipindah tangan kan.

Dari penjelasan dan beberapa pendapat dari para fukaha, memang diantara para fukaha terdapat beberapa perbedaan pendapat, baik dari segi bentuk nya, dan dari segi penagguhannya, akan tetapi dalam kitab kitab fiqh kontemporer memang terdapat syarat-syarat khusus yang ditetapkan para fukaha tersebut, seperti harga yang dibolehkan hanya harga yang dianggap wajar dan pantas, sehingga tidak ada unsur kezaliman dari kedua belah pihak baik dari penjual maupun pembeli, kedua adalah adanya persetujuan dan kesepakatan bersama, yang mungkin bersifat mengikat, tanpa adanya persetujuan sepihak, dan yang ketiga adalah barang yang ditangguhkan jelas adanya sebagaimana syarat syarat jual beli pada umumnya. Adapun hadits-hadits yang memang memiliki keterkaitan dengan pembahasan tersebut adalah

“Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda, “barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya, kecuali sampai ia benar-benar mengambilnya secara penuh.[9]

 

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, hakikatnya sistem jual beli dengan menggunakan media kredit adalah boleh jika dilihat dari hukum asal jual beli tersebut, akan tetapi ada syarat-syarat tertentu yang harus di lakukan sebelum sistem kredit tersebut masuk kedalam riba, sebagaimana penjelasan diatas. Sejatinya memang dalam Islam tidak ditemukan dalil khusus yang membolehkan atau mengharamkan sistem perkreditan tersebut, akan tetapi dalam hadits-hadits Rasullulah banyak ditemukan penjelasan yang memiliki keterkaitan dengan sistem perkreditan tersebut. Nah, untuk itu lah para fukaha menilai penting untuk mengkaji permasalahan tersebut, mengingat sistem prekreditan tersebut sudah melekat pada diri masyarakat, dan bisa dikatakan sebagai kemudahan dalam masyarakat, terkhusus kepada masyarakat yang tidak dapat mampu membayar secara tunai. Dalam kaitannya sistem perkreditan dalam bank konvensional juga ada dalam bank berbasis Islam yang dinamakan ba’i bidhaman ‘aji, sebagai landasan dalam kemudahan bertransaksi pada sistem perkreditan.


Daftar Kepustakaan

  1. Ya’kub Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Islam, (Bandung : c.v Diponegoro.), 1984.
  2. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Kencana Prenadamedia Grup) 2012.
  3. Hasan Ahmad, Mata Uang Islam, (Jakarta : Rajagrafindo Persada), 2004.
  4. Iqbal Qodir Muhammad ,Imam Malik Al Muwathta’( Jakarta : Pustaka Azzam), 2013.
  5. Khotib Ahmad, Hamid Abdul, Fadli Harits, Uang Haram, (Jakarta : Amzah), 2006.


[1] Muhammad Khalil Bar’i dan Ali Hafzh Mansur, Muqaddimah fi Iqdishadiat al Nuqud, op,cit hlm 42. Muhammad Abdul Mun’im A’far, al-Iqtishad al-Islami,op-cit. 2/7.
[2] Ibrahim Saleh al-Omri, al-Nuqud, op, cit., hlm 30.
[3] Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, hlm 89.
[4] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2012) hal, 183
[5] Hulwati, Ekonomi Islam, teori dalam perakteknya dalam perdagangan obligasi syariah dipasar modal Indonesia dan Malaysia, (Jakarta :Ciputat Press bekerja sama dengan Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang, 2009) hlm. 89.
[6] Lihat Ibnu Qadimah, Al mughni, (beirut dar-elfikr, 1405 H), jild 4, hl. 149
[7] Ibid., hlm. 91
[8] Hamzah Yakub, kode etik dagang menurut Islam, (Bandung : c.v Diponegoro), hal, 231.
[9] Dinuklil oleh Al-Bukhari, pembahasan tentang jual beli, bab “penimbangan dalam jual beli dan orang yang memberi”, hadits (2126).

Lainnya:

Posting Komentar