Selanjutnya, dalam bidang politik, beliau di dijuluki amir al muslimin, karena untuk melacak teori politiknya dapat dipelajari terutama dari tiga karya, Ihya Ulum al-Din, al-Iqtihad wa al-I’tiqad, (modernitas dalam kepercayaan), dan al-Tibr al-Masbuk fi Nashibah al-Mulk (batangan logam mulia tentang nasihat untuk raja-raja).[4] Dalam suatu negara untuk pengadaan kebutuhan-kebutuhan hdup diperlukan division of labour antara warga negara, dan sejumlah industri atau profesi, dimana empat darinya merupakan profesi inti bagi eksistensi suatu negara :pertanian, pemintalan, pembanguna dan politik untuk menyususun dan mengelola negara, pengaturan kerja sama antar warga, penyelesaian sengketa serta perlindungan terhadap bahaya dan ancaman dari luar, empat profesi ini menurut Ghazali yang paling penting dan paling mulia adalah profesi politik, karena itu menghendaki tingkat kesempurnaaan yang lebih bermutu dari pada profesi lainnya. Bagi Ghazali, profesi politik meliputi empat departemen : departemen agraria untuk mejamin kepastian hak atas tanah, departemen pertahanan dan keamanan (hankam), departemen kehakiman, dan kejaksaan. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dalam pembahasan berikut ini.
Pemikiran Politik
Al-Ghazali berpendapat bahwa manusia itu makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendirian, disebabkan oleh dua faktor, pertama, kebutuhan atau keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia dan hal itu hanya mungkin melaalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta keluarga; dan kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak. [5]sependapat dengan al-Mawardi bahwa mendirikan imamah adalah wajib. Pemikiran al-Ghazali tentang hal ini dapat dilihat dalam karyanya Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Sikap Lurus dalam I’tikad). Al-Ghazali melukiskan hubungan antara agama dan kekuasan politik dengan ungkapan:
“sultan (disini berarti kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya para rasul. Jadi, wajib adanya imam merupakan kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya”[6]
Berlandaskan pemikiran seperti ini, Ghazali menyatakan bahwa kewajiban mengangkat seorang kepala negara bukanlah berdasarkan rasio, tetapi berdasarkan keharusan agama. Faktor keamanan jiwa dan harta tidak akan tercapai tanpa lantaran adanya penguasa yang ditaati. Oleh karena itu, agama dan penguasa dua saudara kembar. Agama adalah fundamen sementara penguasa adalaah pelindungnya. Suatu yang tak pakai fundamen akan hancur dan suatu yang tanpa pakai pelindung akan sia-sia. Operasional tata aturan dunia tak akan terjamin kecuali ada kepala negara yang ditaaati.[7]
Konsekuensi logis dari teori ini, Ghazali tidak memisahkan antara agama dan negara. Tidak ada sekularisasi ajaran agama yang hanya urusan individu sehingga harus dilepaskan dari urusan politik, kenegaraan dan kemasyarakatan dalam arti luas, sekularisme beranggapan bahwa kehidupan materi manusia adalah segala-galanya, satu-satunya tolak ukur kebahagian, kemakmuran material bukan lagi dianggap sebagai alat, tetapi diubahnya sedemikian rupa menjadi tujuan. Mereka menolak kehidupan akhirat, Ghazali justru menunjukkan sebaliknya antara agama dengan negara bagaaikan saudara kembar. Dengan demikian agama bukan hanya mengatur kehidupan individual, melainkan juga kehidupan kolektif, agama menyentuh kehidupan seluruhnya, mencakup ritual, etika, hubungan antar anggota keluarga, masalah sosial ekonomi, administrasi pemerintah, hak dan kewajiban kepala negara, sistem peradilan, hukum perang dan damai, hukum internasional dan seterusnya. Ini berarti antara agama dan negara terjalin erat dan kuat bagi tegaknya kedaulatan negara melalui seorang kepala negara yang ditaati, yang mampu menjembatani kepentingan rakyat.
Pendapat Beliau Tentang Kepala Negara
Dengan berdasarkan pada al-Qur’an surat al-Nisa:59 dan surat ali-imran:26, al-Ghazali berpendapat bahwa Allah telah memilih bani adam dua kelompok pilihan: pertama, para nabi yang bertugas menjelaskan kepada hamba-hamba Allah tentang jalan yang benar yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat, dan kedua, para raja (kepala negara), dengan tugas menjaga agar hamba-hamba Allah tidak saling bermusuhan dan saling melanggar hak, dan memandu mereka ke arah kedudukan yang terhormat. Kerena itu sultan adalah bayangan Allah dimuka bumi, maka wajib dicintai, harus ikut dan tunduk serta tidak dibenarkan menentang.[8] Hal ini tentu saja terbatas pada sabda Rasulullah :
“Tidak Boleh ada ketaatan kepada Makhluk yang durhaka kepada Allah (al-Khalik)”.
Ketaatan itu hanya terbatas pada hal-hal yang baik saja.[9] Melalui kepala negara sebagai bayaangan Allah di bumi, maka ia adalah suci (Muqaddas) dan kekuasaannya tidak datang dari rakyat sebagaimana pendapat Mawardi – meskipun keduanya sama-sama mazhab Syafi’i. maka dapat dikatakan sistem pemerintahan Ghazali dekat dengan sistem teoraksi. Karena penguasa menurut al-Ghazali dipilih oleh tuhan, Munawir Sjadzali menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan dalam gagasan al-Ghazali adalah teokrasi.[10] Dengan demikian berbeda dengan al-Mawardi yang mengembangkan gagasan tenang kontrak sosial dalam teori al-Imamah dan ahl al-Ikhtiyar dan membuka peluang adanya pemakzulan kepala negara. Baginya, kepala negara tidak bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi kepada tuhan. Al-Ghazali juga merumuskan syarat-syarat kepala negara secarap perinci. Menurutnya, kepala negara harus memenuhi kualifikasi dewasa, otak yang sehat, merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, pendengaran dan penglihatan yang sehat, kekuasaan yang nyata, memperoleh hidayah, berilmu pengetahuan serta wara’.[11] Dalam refrensi lain ditambahkan yaitu mujtahid, adil, bukan orang fasik, dan seorang pembeo.[12] Dari pemikiran politik al-Ghazali diatas terlihat bahwa ia masih berusaha untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan bani Abbas,. Baginya, sebagaimana juga al-Mawardi, kepala negara harus berasal dari dari suku quraisy. Setidaknya syarat ini akan meredam ambisi petualang-petualang politik untuk merebut kekuasaan secara tidak sah. Dan juga dari paparan diatas terlihat juga bahwa pemikiran politik al-Ghazali sangat diwarnai oleh sikap pemihakan terhadap kekuasaan. Doktrin politik sunni begitu kental dalam pemikirannya. Al-Ghazali tidak berani mengambil posisi yang berseberangan dengan kekuasaan, karena ia sendiri mendapat patronase dari penguasa.
Untuk itulah dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dalam menentukan kepala negara, perlu diadakan evaluasi mendalam, sebagaimana yang dilakukan oleh imam Al-ghazali, seperti yang dijelaskan pada bagian-bagian diatas seperti kepala negara harus memenuhi kualifikasi dewasa, otak yang sehat, merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, pendengaran dan penglihatan yang sehat, kekuasaan yang nyata, memperoleh hidayah, berilmu pengetahuan serta wara’. Dalam refrensi lain ditambahkan yaitu mujtahid, adil, bukan orang fasik, dan seorang pembeo. Berbeda dengan imam Al-mawardi bahwa ia mengatakan kepala negara bertanggung jawab kepada Allah SWT, nah dalam versi imam Al-Ghazali, bahwasanya beliau mengatakan bahwa kepala negara bertanggung jawab sepenuhnya kepada rakyat, dan dalam-dalam konsep ketatanegaraan beliau lebih menerapkan dan seakan bercermin kepada kekhalifahan bani Abbas, yaitu sifat sifat atau fahaam kesunnianya masih dapat terlihat jelas.
Daftar Kepustakaan
1. M Iqbal, Amin Husein Nasutin, Pemikiran Politik Barat Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group)
2. Ni’matul Huda, ilmu Negara, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2011)
3. Sjadzali, Islam dan Tatanegara,
4. Sulaiman Dunia, al-Haqiqat fi Nazhr al-Ghazali, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1971, hal. 18.
[1] Sulaiman Dunia, al-Haqiqat fi Nazhr al-Ghazali, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1971, hal. 18.
[2] M Iqbal, Amin Husein Nasutin, Pemikiran Politik Barat Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group) hal, 25
[3] Ibid.
[4] Munawir, Islam dan Tatanegara, hal. 74.
[5] Ni’matul Huda, ilmu Negara, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2011), hal, 50
[6] Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Beirut: Dar al-Amanah, 1969), hal. 215.
[7] Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Kairo: t.p. 1320 H), hal. 125.
[8] Munawir, Islam dan Tatanegara, hal. 77.
[9] Yusuf Musa, Politik dan Negara, hal. 136.
[10] Sjadzali, Islam dan Tatanegara, hal. 78.
Posting Komentar
Posting Komentar