Pinjam-Meminjam Dalam Islam

 


ARIYAH
عارية
(PINJAM-MEMINJAM)

Majalah Online - Assalamualaikum Wr.Wb. Segala puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang dengan Rahmat serta Hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah FIQH MUAMALAH yang bertema “PINJAM-MEMINJAM (ARIYAH)”. Mungkin tanpa ada campur tangan dari-Nya kami tidak akan bisa menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam kita ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai umat-Nya yang lemah tentulah kita harus memperbanyak membaca shalawat kepada-Nya. Karena tiada Nabi yang dapat memberi syafa’at pada hari kiamat kelak kecuali Nabi Muhammad SAW.
Muamalah, sebagai sistem sosial kemasyarakatan Islam, dapat dipahamkan dari tujuan syariah (maqashid al-syariah) dalam rangka terpeliharanya lima hal yang bersifat mutlak (khamsu al-dharuri) bagi manusia, yaitu:
  1. Agama.
  2. Jiwa.
  3. Akal.
  4. Keturunan.
  5. Harta Benda.
Tujuan syariat islam itu dapat pula dipahami dari arti kata Islam sendiri, yaitu :
  1. Tunduk dan Patuh.
  2. Selamat.
  3. Sejahtera.
  4. Damai dan.
  5. Tingkat atau derajat.
Dengan demikian, muamalah bagi muslim dapat diartikan sebagai pergaulan hidup dan interaksi antara sesama manusia yang mengupayakan terciptanya kehidupan yang sejahtera dan damai. Dalam kehidupan keseharian, disamping dituntut untuk selalu melakukan habl min Allah (Ibadah) sebagai aspek kehidupan spiritual, seorang muslim juga dituntut untuk selalu melakukan habl min al-nas ( hubungan antar sesama manusia) sebagai aspek kehidupan materil. Baik aspek spiritual maupun aspek materil keduanya tidak dapat dipisahkan dari kehidupa seorang muslim.Dalam kesehariannya seorang muslim dengan lainnya, bahkan dengan orang-orang Non Muslim, harus dapat hidup berdampingan melalui Muamalah selama tidak menghalalkan segala cara, selama tidak ada saling curiga dan selama didasarkan pada prinsip:
  1. Persamaan (musawah),
  2. Keadilan (adalah).
  3. Persaudaraan.
  4. Musyawarah.
  5. Saling menghargai, dan.
  6. Tolong menolong. Lebih lanjut adalah menggunakan prinsip-prinsip masyarakat yang islami.

Pengertian
Ariyyah atau ariyah nama barang pinjaman ; dan nama suatu aqad yang berupa memberikan wewenang untuk mengambil manfaat sesuatu yang halal diambil manfaatnya dalam keadaan masih tetap/utuh barangnya untuk dikembalikan lagi. Kata عارية berasal dari عار
Yang artinya “pergi dan datang kembali dengan cepat”. Ariyah pada asal hukumnya adalah Sunnah, karena sangat dirasa keperluannya. Dan terkadang hukumnya bisa menjadi wajib, seperti misalnya meminjamkan pakaian yang disitulah syahnya sholat , meminjamkan sesuatu penyelamat orang tenggelam, atau meminjamkan alat menyembelih binatang dimuliakan syara’ yang dikhawatirkan ( segera ) mati.[1]

Menurut etimologi, Ariyyah adalah datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat,ariyyah yang mempunyai pengertian yaitu, saling menukar dan mengganti yakni dalam tradisi pinjam-meminjam.

Menurut terminologi, syara’ Ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefenisikannya, antara lain:
Menurut Syarkhasyi dan Ulama Malikiyah yaitu, “Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti”.
Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah yaitu, “Pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti”.
Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.[2]
Landasan Syara’
Ariyah dianjurkan (mandub) dalam islam, yang didasarkan pada al-qur’an dan sunnah.
Al-Qur’an
وتعاونوا على البر والتقواى (الماىدة:2
Artinya: “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa”. (QS. Al-maidah : 2)[3]

Sunnah
Dalam hadis Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. Telah meminjam kuda dari Abu Thalhah kemudian beliau mengendarainya. Dalam hadis yang lain diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang jayyid dari shafwan Ibn Umayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW, pernah meminjam perisai dari shafwan bin Umayyah pada waktu perang Hunain. Shafwan bertanya “Apakah engkau merampasnya, ya Muhammad..?? “Nabi menjawab, “Cuma meminjam dan Aku bertanggung jawab."

Pembahasan
Pinjam-meminjam ialah membolehkan kepada orang lain mengambil manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya. Dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tetap, tidak merusak zatnya. Pinjam-meminjam itu boleh, baik secara mutlak artinya tidak dibatasi oleh waktu, atau dibatasi oleh waktu. Barang pinjaman kalau hilang atau rusak, menjadi tanggungan orang yang meminjam dengan harga pada hari rusaknya.
Pinjam ini wajib dikembalikan kepada yang meminjamkan, sabda Nabi Saw:
عن ابى هريره رضى الله عنه قا ل : قا ل ر سو ل الله صلى الله عليه وسلم : ا د الا ما نة الا من ائتمنك , ولا تخن من خا نك. ( رواه الترمزي و ابو داود )

Artinya : Dari Abu Hurairah R.A : Bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda: “Tunaikanlah / Kembalikanlah barang amanat itu kepada orang yang telah memberikan amanat kepadamu, dan janganlah kamu menyalahi janji (berkhianat) walaupun kepada orang yang pernah menyalahi janji kepadamu”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dan selanjutnya Sabda Beliau Lagi :

عن ابي اما مة ر ضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قا ل : العا رية مؤ د ا ة والزعيم
غا رم والدين مقضى . ( رواه التر مزي)

Artinya : Dari Abu Umamah RA. Dari Nabi SAW. Ia berkata: “Pinjaman itu wajib dikembalikan dan orang yanng menjamin dialah yang berhutang, dan hutang itu wajib dibayar”. (HR. At-Turmudzi dan Abu Dawud).

Rukun dan Syarat-syaratnya
  • Rukun
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang. Sedangkan qabul bukan merupakan rukun Ariyah. Menurut Ulama Syafi’iyah, dalam Ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang yang bergantung pada adanya izin.[4]
Secara Umum jumhur Ulama fiqh[5] menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:
  1. Mu’ir (peminjam)
  2. Musta’ir (yang meminjamkan)
  3. Mu’ar (barang yang dipinjam)
  4. Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
  • Syarat
  1. Syarat orang yang meminjam dan yang meminjamkan ialah 
  2. Baliqh.
  3. Berakal dan melakukannya dengan kemauannya.
  4. Manfaat barang yang dipinjamkan harus merupakan milik orang yang meminjamkan. Oleh karena itu orang yang meminjamkan sesuatu barang tidak boleh meminjamkan barang itu kepada orang lain.
  5. Orang yang meminjam suatu barang, hanya dibolehkan mengambil manfaatnya menurut apa yang diijinkan oleh orang yang meminjamkan.
  6. Mengembalikan barang pinjaman, kalau dibutuhkkan ongkos, maka ongkosnya atas tanggungan peminjam.
  7. Pinjaman yang dibatasi waktunya, setelah habis waktunya, si peminjam wajib segera mengembalikannya. 
Pengambilan manfaat setelah lewat batas waktu yang ditentukan, adalah diluar ikatan pinjam meminjam. Hilang atau rusaknya barang yang dipinjamkan penuh atas tanggungan yang meminjamkan.[6]
Dan dalam hal Ulama fiqh mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
  1. Mu’ir berakal sehat. Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh. Sedangkan ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan bukan orang yang sedang pailit (bangkrut).[7]
  2. Pemegangan barang oleh peminjam. Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah.
  3. Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah. Para Ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang, dan lain-lain.Hukum (Ketetapan) Akad Ariyyah.
Meminjamkan sesuatu hukumnya sunnat, malah terkadang menjadi wajib, seperti meminjamkan sampan untuk menyelamatkan orang yang akan hanyut tenggelam, dan kadang-kadang haram meminjamkan, seperti meminjamkan rumah untuk tempat maksiat dan sebagainya.
Orang yang meminjamkan sewaktu-waktu boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan.
Sesudah yang meminjam mengetahui, bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan aqadnya, dia tidak boleh memakai barang yang dipinjamkannya.
Pinjam-meminjam tidak berlaku (batal) dengan matinya atau gilanya salah seorang dari peminjam atau yang meminjamkan.

Menurut kebiasaan (urf), Ariyyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan secara majaz.
  • Secara Hakikat 
Ariyyah adalah meminjamkan barangyang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zat nya. Menurut Malikiyah dan Hanafitah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semakna dengan manfaat menurut kebiasaan.[8]
Al-Khurkhi, ulama Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
Dari perbedaan pendapat di atas, dapat ditetapkan bahwa menurut golongan pertama, barang yang dipinjam (Musta’ar) boleh dipinjamkan kepada orang lain, menurut Imam Malik, sekalipun tidak diizinkan oleh pemiliknya asalkan digunakan sesuai fungsinya. Akan tetapi, ulama Malikyah melarangnya jika peminjam tidak mengizinkannya.
  • Secara Majazi
Ariyyah secara majazi adalah pinjam-meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan, dan lain-lain, seperti telur, uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatny, tanpa merusak zatnya. Ariyyah pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda yang serupa atau senilai. Dengan demikian, walaupun termasuk ariyyah, tetapi merupakan ariyyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan intuk memanfaatkannya.[9]

Hak Memanfaatkan Barang Pinjaman (Musta’ar)
Jumhur ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa musta’ar dapat mengambil manfaat barang sesuai dengan izin mu’ir (orang yang memberi pinjaman).
Adapun ulama Hanafiah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara mutlak atau terikat (muqayyad).
  • Ariyaah mutlak Ariyyah mutlak, 
yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya. Sebaliknya, jika penggunaannya tidak sesuai kebiasaan dan barang pinjaman rusak, peminjam harus bertanggung jawab.[10].
  • Ariyyah muqayyad 
Ariyah muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut. Hal ini karena asal dari batas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang tersebut. Dengan demikian, dibolehkan melanggar batasan tersebut apabila kesulitan untuk memanfaatkannya.[11].

Sifat Ariyyah
Ulama Hanafiah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan peminjam atas barang adalah hak tidak lazim, sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya. Pada hibah, misalnya bisa saja mu’ir (orang yang meminjamkan) mengambil barang yang dipinjamkannya kapan saja, sebagaimana peminjam dapat mengembalikannya kapan saja, baik pinjam-peminjam itu bersifat mutlak atau dibatasi waktu, kecuali ada sebab-sebab tertentu, yang akan menimbulkan kemadaratan saat pengembalian barang tersebut seperti kalau dikembalikan kepada waktu yang telah ditentukan barang akan rusak atau seperti orang-orang yang meminjam tanah untuk mengubur mayat yang dihormati, maka mu’ir tidak boleh meminta kembali tanah tersebut dan sipeminjam pun tidak boleh mengembalikannya sebelum jenazah berubah menjadi tanah.[12]
Alasan mereka lantara lain bahwa ariyyah adalah transaksi yang dibolehkan, sebagai mana sabda nabi.
“pemberian itu ditolak sedang pinjam-meminjam adalah (suatu akad) yang dikembalikan” (HR. Ibnu ‘Addy).
Menurut pendapat yang paling masyhur dari ulama Malikiyah, mu’ir tidak dapat meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam dapat mengambil manfaatnya. Selanjutnya adalah ihwal ariyyah, Apakah Tanggungan atau Amanat.? ulama Hanafiah berpendapat bahwa barang pinjaman itu merupakan amanat bagi peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan demikian, dia tidak menanggung barang tersebut jika terjadi kerusakan, seperti juga dalam sewa-menyewa atau barang titipan, kecuali bila kerusakan tersebut disengaja atau disebabkan kelalaian. Hal ini karena tanggungan tidak dibebankan kepada mereka yang bukan pelaku. Selain itu, peminjam pun dikategorikan sebagai orang yang menjaga milik orang, hal itu termasuk kebaikan bagi pemilik.[13] dan hikmahnya dapat mencukupi keperluan seseorang terhadap manfaat sesuatu barang yang tidak ia miliki.

Pinjam meminjam ialah membolehkan kepada orang lain mengambil manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil manfaat nya dengan tidak merusak zat-Nya, dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tetap tidak rusak zat-Nya. pinjam meminjam itu pada hakikatnya boleh-boleh saja, asalkan tidak pinjam meminjam dalam berbuat kemaksiatan dan dosa.Barang pinjaman kalau hilang atau rusak, menjadi tanggungan orang yang meminjam dengan harga pada hari rusaknya.


Kesimpulannya adalah hukum meminjamkan pada hakikatnya:
  1. Meminjamkan sesuatu hukumnya sunnat, malah terkadang menjadi wajib, seperti meminjamkan sampan untuk menyelamatkan orang yang akan hanyut tenggelam, dan kadang-kadang haram meminjamkan, seperti meminjamkan rumah untuk tempat maksiat dan sebagainya.
  2. Orang yang meminjamkan sewaktu-waktu boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan.
  3. Sesudah yang meminjam mengetahui, bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan aqadnya, dia tidak boleh memakai barang yang dipinjamkannya.
  4. Pinjam-meminjam tidak berlaku (batal) dengan matinya atau gilanya salah seorang dari peminjam atau yang meminjamkan.


Daftar Kepustakaan
  1. Syafe’i Rachmat, Fiqh Muamalah, (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2001)
  2. Rifa’i Mhd, Fiqh Islam, (Semarang: PT. Karya Toha Putra)
  3. Masduki Nana, Fiqh Muamalah, (Bamdung: IAIN Sunan Gunung Djati, 1987)
  4. Syamil Al-Qur’an terjemahannya dilengkapi dengan tajwid



[1] As’ad Aliy, Fathul Mu’in, (Kudus: Menara Kudus, 1979), h. 309.
[2] Nana Masduki, Fiqh Muamalah, (Bandung : IAIN SUNAN GUNUNG DJATI, 1987) hlm. 112.
[3] Syamil Al-Qur’an terjemahnya dilengkapi dengan Tajwid.
[4] M. Asy-Syarbini, Op.Cit., juz II. H. 266
[5] Ibid., h. 264
[6] Rifa’i Moh, Fiqh Islam, ( Semarang: Karya Toha Putra, 1978), h. 427.
[7] Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001) hlm. 141.
[8] Loc. Cit
[9] Al-Kasani.,Op.Cit., juz, VI, h. 251
[10] Al-Kasani.,Op.Cit, juz, VI, h. 215
[11] Ibid
[12] Al-Kasani,Op.Cit., juz VI h. 216
[13] Al-Kasani, Op.Cit., juz VI. H. 117

Lainnya:

Posting Komentar