Terminologi Hukuman dan Macamnya dalam Fiqh Jinayat

Posting Komentar

Majalah Online -
Hukuman berasal dari kata hukum yang berarti hukum sebagai alat untuk mengatur tata tertib di dalam masyarakat.[1] Yang kedua adalah hukum pidana Islam, dapat diartikan sebagai Jarimah yang mempunyai kesamaan dengan Jinayah yang berarti larangan, pencegahan.

Sedang menurut terminologi ialah larangan-larangan Allah SWT (al-Syari’) yang diberi sanksi oleh-Nya dengan hukuman had, qishash/diyat dan ta’zir[2].

Dan adapun tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syariat Islam ialah pencegahan (ar-rad-u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahcizib)[3] dalam buku lain disebutkan bahwa hukuman di dalam pidana Islam dinyatakan dengan lafal ‘uqubah atau ‘iqab. Kedua lafal ini berasal dari ism mashdar yang kata kerjanya adalah ‘aqaba. Secara etimologi bermakna, “balasan atas perbuatan jahat.” Dalam kamus al-Munjib disebutkan, “uqubah ialah balasan sebab memperbuat kejahatan.”[4] Sebagai ahli fiqih membedakan antara kata ‘uqubah' dan “iqab. ‘uqubah yaitu apabila seseorang divonis dengan hukuman di dunia, sedang ‘iqab ialah seseorang dengan perbuatan jahatnya dibalas di akhirat. Oleh sebab itu, meskipun seseorang bisa melakukan jarimah (tindakan-tindakan kriminal) dan dapat terhindar dari hukuman dunia, namun ia tidak akan lepas dari siksaan akhirat dan laknat Allah terhadapnya. 

Menurut terminologi hukuman ialah, “Balasan yang ditetapkan oleh Syari’ untuk mencegah melakukan perbuatan yang dilarang dan meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.”

Dari definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukuman menurut hukum pidana Islam ialah balasan atau tindakan yang dikenakan kepada orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan di dalam syariat Islam. Tujuannya adalah untuk mencegah atau menahan seseorang melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yaang diperintah. Karena larangan dan perintah tidak cukup sebagai pencegahan (Preventif) terhadap perbuatan manusia tanpa diberikan sanksi (hukuman) yang tegas maka diterapkanlah hukuman. Dengan demikian sanksi (Hukuman) adalah salah satu faktor untuk menjamin keamanan sosial.

  • Tujuan Hukuman

Tujuan Syari’ dalam mensyariatkan ketentuan-ketentuan hukum kepada mukallaf adalah untuk mewujudkan kebaikan bagi kehidupan mereka, baik melalui ketentuan-ketentuan

Dharuri
Hajiy, ataupun
Tahsini.

Dharury
Ketentuan hukum untuk memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga kemaslahatan mereka. Seandainya norma-norma itu tidak dipatuhi, niscaya mereka akan dihadapkan pada mafsadah dan berbagai kesukaran. Ketentuan dharury itu secara umum bermuara pada upaya memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, harta, keturunan.

Hajiy
Ketentuan hukum yang memberi peluang bagi mukallaf untuk memperoleh kemudahan dalam keadaan kesukaran guna mewujudkan ketentuan dharury.

Tahsiny
Berbagai ketentuan untuk menjalankan ketentuan dharury dengan cara yang paling baik. Oleh karena itu, ketentuan tahsiny berkaitan erat dengan pembinaan akhlak yang baik, kebiasaan terpuji, dan menjalankan berbagai ketentuan dharury dengan cara yang paling sempurna.[5] Dalam buku lain disebutkan bahwa tujuan hukuman adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kuraang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman.[6]

Jadi dari sumber rujukan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, pada dasarnya tujuan dijatuhkannya hukuman pada seseorang yang telah mumayyiz atau mukallaf adalah untuk mencapai kemashlahatan umat dan orang lain, dan untuk memberikan efek jera kepada si pelaku tindak pidana tersebut, dan dapat menegakkan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai mana hadits Rasullullah.

“Barangsiapa melihat suatu kemungkaran hendalah ia merobah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan), dan apabila tidak mampu juga hendaklah dengan hatinya dan itulah keimanan yang paling lemah. (HR. Muslim).

  • Macam-Macam Hukuman

Qishash adalah salah satu dari pembagian hukuman yang tergolong jarimah (kriminal). Secara definitif, qishaah adalah hukuman bagi si pelaku pidana sesuai dengan perbuatannya menghilangkan jiwa manusia, atau anggota badan dari bagian anggota badan mereka[7]
Dari definisi ini dapat diketahui bahwa qishash ada dua macam yaitu:
  1. Qishash jiwa, yaitu hukuman bunuh untuk tindak pidana pembunuhan.
  2. Qishas untuk anggota badan yang terpotong ataupun yang terluka.

Dalil yang berkenaan terhadap qishash jiwa terdapat didalam Al-Quran surah al-Baqarah ayat 178:

“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atyas kamu qhishas berkenaan dengan orang yang dibunuh, orang yang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita wanita".

Adapun ketentuan hukuman qishash untuk tindak pidana pelukaan terdapat pada surah al-Maidah ayat 45.

Hudud adalah hukuman yang ditetapkan bentuknya, ia wajib dilaksanakan terhadap sebagian perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar terhadap hak Allah Ta’ala.[8] Di dalam fath al-Qadir lebih jelas disebutkan tentang definisi hudud sebagai berikut , “Hudud ialah hukum yang telah ditentukan sebagai hak Allah Ta’ala. 

Dengan demikian tidaklah dinamakan hudud hal-hal yang terkait dengan hak hamba.[9] Dari rumusan diatas dapat diketahui bahwa, hukuman hudud adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap seseorang yang melanggar larangan-larangan syra’, serta telah ditentukan bentuk hukumannya karena termasuk hak Allah Ta’ala.
Hudud ditinjau dari bentuk hukuman terbagi kepada tujuh bagian:
  1. Hukuman zina.
  2. Hukuman qasaf.
  3. Hukuman meminum minuman keras.
  4. Hukuman mencuri.
  5. Hukuman hirabah.
  6. Hukuman murtad.
  7. Mukuman pemberontakan.

Hukuman zina. Zina menurut beberapa ahli fiqh ialah, persetubuhan di antara seseorang laki-laki dengan perempuan tanpa aqad nikah yang sah.[10] Ketentuan bahwa perbuatan zina adalah suatu perbuatan yang diancam dengan hukuman tertentu berdasarkan ayat Al-Quran dan Hadis Rasullullah saw, Allah berfirman dalam Al-Quran surat an-Nisa’ ayat 2 berbunyi Hadits Rasullullah saw, yang diriwayatkan Muslim dari ‘Ubadah Samit mnyebutkan,dari ‘ Ubadah Bin Samit ra. Ia berkata, 

“Berkata Rasullullah saw,” “Ambillah dariku, ambillah dak, sesungguhnya Allah telah membuat jalan bagi mereka, sesorang kjejaka dan seorang gadis dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun dan seorang yang pernah kawin dicambuk seratus kali dan rajam”.[11]

Berdasarkan hadis diatas ditemukan bahwa dalam tindak pidana zina ada tiga macam hukuman bagi pelakunya, yaitu :
  • Dera seratus kali
  • Diasingkan selama satu tahun.
  • Rajam. 

Hukuman qazaf. Qazaf menurut istilah ialah penisbatan tuduhan seseorang kepada orang lain melakukan zina dengan perkataan (tuduhan) yang jelas (sharih) atau berdasarkan indikasi tuduhan (dalalah) yang ditumbuhkan oleh rasa kebencian atau cercaan.

Menuduh seseorang berbuat zina tanpa mengemukakan empat orang saksi yang memenuhi syarat, maka orang yang menuduh mendapat ancaman hukuman yang sangat berat. Para ahli fikih sependapat bahwa hukuman pokoknya, yaitu dera delapan puluh kali, hukuman tambahan yaitu tidak diterima kesaksian mereka. Hukuman dijatuhkan kalau tuduhan itu dusta.
Ancaman hukuman terhadap tindak pidana qazaf didasarkan pada Al-Quran surat an-Nur ayat 4 yang berbunyi sebagai berikut: Artinya:

“dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.

Hukuman meminum minuman khamar (keras) Tindak pidana meminum khamar disebut syurb al-khamar. Ayat mengenai larangan meminum minuman keras secara berangsur-angsur menurut perkembangan masyarakat. Ayat terakhir menunjukkan larangan yang tegas kepada orang mukmin terdapat pada surat al-mai’dah ayat 90 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Meminum minuman keras hukumnya haram dan terhadap pelakunya dikenakan hukuman dera sebanyak empat puluh kali. Akan tetapi menurut imam abu hanifah, malik, dan ahmad, mereka didera delapan puluh kali.

Hukuman mencuri. Mencuri termasuk perbuatan yang diharamkan syara’ dan dicegah melakukannya. Maksudnya pencurian adalah mengambil sesuatu dari orang lain dengan sembunyi-sembunyi. Sebagian ulama mengatakan bahwa mencuri (syariqah) menurut istilah adalah perbuatan mengambil sesuatu benda orang lain, yang berharga tanpa adanya syubhat, dan harta itu yang sampai senisab atau seharganya. Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang berakal dan telah baligh dan orang yang melakukan perbuatan itu adalah orang yanmg mukallaf.

Hukuman hirabah. Hirabah (gangguan keamanan) dalam syariat islam adalah melakukan pencegahan padan suatu tempat yang sunyi dan hampir tidak mungkin mendapat pertolongan. Hal itu dilakukan secara terang-terangan dengan memakai senjata dan kekuatan serta dalam tindakan itu pelaku kriminalnya melakukan pembunuhan, mengambil harta, dan bisa juga menakut-nakuti.
Ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana hirabah ada empat macam hukuman yaitu:
  1. Hukuman mati.
  2. Hukuman mati serta salib.
  3. Hukuman potong tangan serta kaki.
  4. Pengasingan
Hukuman ini tergantung pada berat atau ringannya tindakan muharobah yang dilakukan para pelaku tindak pidana tersebut.

Hukuman murtad. Maksud murtad adalah orang yang keluar dari agama islam. Tindak pidana murtad diancam dengan hukuman mati. Hal ini dilkakukan sebagai proteksi agar agama islam jangan dipermainkan oleh orang yang ingin merusaknya. Nabi saw. Menjelaskan bahwa siapapun (orang islam) yang mengganti agamanya dari islam maka hukumannya adalah dibunuh. Namun yang berhak melakukannya eksekusi tersebut adalah pihak yang berwenag.

Hukuman pemberontakan. Pemberontak ialah orang yang berusaha mengadakan pemberontakan terhadap suatu pemerintahan atau mengantikan penguasa Negara dengan jalan kekersan atau mengatakan tidak mau tunduk berdasarkan kekuatan senjata. Hukuman bagi pelaku pemberontak adalah hukuman mati[12] perilaku ini merupakan tindakan pidana yang disebut bughat.

Ta’zir Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat diat meliputi[13]
  1. Judi.
  2. Khalwat.
  3. meninggalkan sholat fardhu dan puasa Ramadhan
Dalam buku rujukan lain disebutkan bahwa ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan atas jarimah jarimah yang tidak dijatuhi hukuman yang telah ditentukan oleh hukum syariat, yaitu jarimah jarimah hudud dan qishas/diyat. Hukuman hukuman tersebut banyak jumlah nya, yang dimulai dari hukuman yang paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih antara hukuman hukuman tersebut hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya.
Hukuman-hukuman ta’zir tersebut terdiri dari:
  1. Hukuman mati.
  2. Hukuman jilid.
  3. Hukuman kurungan (hukuman kawalan).
  4. Hukuman pengasingan (al-Tahrib wal ib’ad).
  5. Hukuman salib.
  6. Hukuman pengucilan.
  7. Hukuman ancaman (tahdib), tegoran (tanbib). Hukuman peringatan.
  8. Hukuman denda, (al-gharamah).
Dari pembahasan diatas dapat dipetik kesimpulan bahwa hukum pidana islam dalam hal ini berkaitan erat dengan tata kehidupan itu perlu diatur dengan norma-norma hukum yang diambil dari ajaran-ajaran islam, karena pada dasarnya hukum islam dibuat untuk kepentingan dunia dan akhirat dengan adanya hukum pidana islam dan dengan ditetapkannya macam-macam hukumnya maka orang yang berakhlak akan dapat dicegah dan mengurangi nafsu melakukan jarimah. Dalam hal ini keadaan yang demikian akan mengurangi jumlah tindakan jarimah bagi orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasullnya.

Sejalan dengan paparan diatas memperlihatkan bahwa aspek hukum dalam Islam merupakan bagian dari ajaran Islam yang berfungsi mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesame muslim, non muslim, alam, dan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu ketika berbicara mengenai tindak pidana yang dalam konteks ini adalah jarimah dapat mengikat antara sipenegak hukum dan yang dalam hal ini adalah kehakiman dan yang menjalankan hukum adalah masyarakat. Yang telah memenuhi persyaratan mumayyis wal-mukallaf atau yang lebih dikenal dengan mumayyis dan mukallaf.


Daftar Kepustakaan

  1. Al-qur’an dan terjemahannya
  2. Husnel Anwar Matondang, Al-islam pendidikan agama islam untuk perguruan tinggi, (bandung: cita pustaka media perintis, 2010.)
  3. Eldin H. Zainal, Hukmu pidana islam, (bandung: cita pustaka media perintis, 2011.)
  4. Mardani, hukum acara perdata peradilan agama dan mahkamah syas’iayah (Jakarta: sinar grafika, 2009.)
  5. M. Rizal, Ilmu Hukum, ( Medan : Duta Azhar, 2013),
  6. M Faiz Almath, 1100 hadis terpilih sinar ajaran Muhammad (Jakarta: gema insani press, 1991.:


[1] M. Rizal, Ilmu Hukum, ( Medan : Duta Azhar, 2013), hlm 22.
[2] Abdul Qadir Audah, Al-Tasyrik al-Jinaiy, juz I, Maktabah Dar al-‘Urubah, cet. III, Mesir, 1936M/1383 H, Hal, 66-67. Bandingkan : Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, wa al-wilayah al diniyah, Mustafa al-Babi al-Halaby, Mesir, 1973. Hal.192.
[3] Eldin H, Zainal, Hukum Pidana Islam, ( Bandung : Citapustaka Media Perintis 2011), hlm 57.
[4] Luis Ma’luf, al-Munjid, ( Bairut, Libanon: Dar al-Fikr, tt.), h. 518
[5] Husnel Anwar Matondang, Al-Islam, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010.), hlm 80.
[6] Eldin H Zainal, Hukum Pidana Islam, (Bandung:Citapustaka Media Perintis, 2011.), hlm 58
[7] Abd al-rahman al-jaziri, kitab al-fiqh ala majahib al-arba’ah juz v, (Beirut, libanon: dar al-fkr, tt.)h. 244
[8] Muhammad Abu Syuhbah, al-Hudud fi al-Islami, (Kaira: Matabi’ al Amiriyah, 1974, h. 131.
[9] Ibn Humam, fath al-Qadir, juz V, (Libanon: Dar al-fikr, tt), h, 22.
[10] Anwar Haryono, Hukum Islam Perluasan dan Keadilan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), h, 246.
[11] Muslim, Sahih Muslim, (Tunisia: Dar al-Sahnun, 1992), h. 276.
[12] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989.), h 330.
[13] Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009.) hlm 60

Lainnya:

Posting Komentar