HIDUP DAN RENTETAN PERISTIWA (Hubungan Wahyu, Akal, dan Indra)

Posting Komentar



Majalah Online - Pada dasar nya manusia lahir ke atas dunia ini pasti memiliki tujuan tertentu, baik itu tujuan yang bersifat ilahiyah, atau di luar dari itu, setidaknya itulah teori yang selama ini kita fahami. Sebuah teori dapat diyakini kebenarannya yang apabila dalam perkembangan teori tersebut telah menjadi kesepakatan bagi kebanyakan orang di suatu wilayah tertentu, belum dan tidak terpatahkan, dan memiliki sebuah dampak atau efek apabila dalam perkembangannya ada upaya merubah, mengurangi, menambah, atau bahkan merubah konsep tersebut, tentunya terlepas dari benar atau tidaknya teori tersebut, kita dipaksa untuk meyakinannya, itu adalah wahyu dalam konteks theologi, dan barangkali sebuah kenistaan apabila teori tersebut disandingkan dengan upaya – upaya atau metedologi untuk dilakukannya pengujian apakah teori tersebut masih dapat diterapkan di masa sekarang dan yang akan datang, dan ini merupakan salah satu mazhab rasionalisme dalam ilmu filsafat, yaitu kemungkinan yang timbul tidak dapat dibentur kan dengan kemampuan akademis terlebih panca indra.



Hidup itu konkrit. Artinya bernyawa, dapat bergerak, dilihat, dan dirasakan secara indrawi, tentunya pemberlakuan ini hanya bisa dilekatkan bagi mereka yang bersifat empirisiative, dapat dibuktikan dengan metode keilmuan sehingga diharapkan nantinya ada gagasan baru yang akan dihadapkan dan diciptakan bagi siapa mereka yang tidak atau diluar dari konsep dasar tentang bagaimana akal dapat dibuktikan dengan metode keilmuan, ini merupakan dasar fundamental bagi mereka yang idealis.

Agaknya dalam perkembangan kelimuan kita tahu bahwa teori atau konsep yang disuguhkan bagi mereka yang pro akan kelimuan dan dapat dibuktikan kebenarannya maka itu yang dapat diterima, selanjutnya bagaimana mereka yang menganut mazhab rasionalisme, yang secara konseptual berkiblat kepada yang namanya akal. Lalu, bagaimana dengan kedudukan akal dan wahyu, apakah dua objek ini diluar dari indrawi? Apakah bisa dibuktikan dengan kemampuan akademis, mungkin pembuktian secara abstraksi? Sekelumit pertanyaan ini mungkin tidak atau dapat terpecahkan oleh kalangan pemikir dan akademis.

Ketika saya sekolah dulu ilmu berhitung, seperti matematik, statistik, aljabar dan segala turunan-turunannya adalah kiblat dari segala jenis cabang keilmuan, cabang keilmuan seperti sosiologi, sejarah, anatomi, sastra dan lain sebagainya, mereka terkekang dalam kurikulum yang disajikan kepada kami waktu itu. Ketika saya berjalan mengitari gedung-gedung tempat dimana biasa mereka yang mengaku terpelajar melakukan pembelajaran, perlu saya sampaikan ada banyak sekali jenis dan macam cabang keilmuan yang ditawarkan kepada kami, yang pastinya lebih definitif, dan sedikit agak eksplisit, (saya memiliki alasan yang kuat kenapa saya menggunakan dua isutilah itu), mereka yang bebas memilih gedung yang akan mereka singgahi ini lah nantinya mereka disebut sebagai mahasiswa. Bentuk dari rentetan itu apakah masuk dan bagian dari kuasa manusia, atau hanya sebuah rentetan peristiwa yang sudah umum terjadi, ketika kita lahir, sekolah, bekerja, berkeluarga, dst, apakah rentetan tersebut dapat diubah alur nya, sesuai dengan yang kita inginkan. Sebagian pemikir mungkin mengatakan bahwa manusia tidak memilki andil dalam hidup dan kehidupannya, saya ingin mengatakan bahwa ada semacam kekuatan di luar dari kekuasaan manusia, ntah itu bersifat ilahiyah, konkrit atau abstrak, yang sejatinya kekuatan tersebut dikemudian hari berpengaruh terhadap apa urutan atau rentetan peristiwa yang tersusun dalam instrumen kehidupan manusia. Mungkin bagi mereka yang tidak setuju dengan ini atau keluar dari pendapat ini bisa dikatakan sebagai pendosa. Atau mungkin mereka yang memilki konsep lain tentang hakikat keberadaan manusia pun dikatakan pendosa bagi kelompok lain yang tidak sependapat dengan meraka, ini sudah menjadi sebuah keumuman. Selanjutanya dari rentetan peristiwa terlepas dari kuasa atau tidaknya manusia masuk kedalam yang saya katakan instrumen tadi, dapat dipastikan sampai bagian akhir cerita (epilog) mugkin tidak memiliki kesimpulan dan hanya menunggu akses masuk ke rentetan peristiwa selanjutnya. Agaknya dari paragraf singkat tersebut saya dapat faham bahwa dampak atau efek dari segala aspek hidup dan kehidupan manusia sampai tahap ini tidak memiliki kesimpulan apa-apa.

Aliksah, hiduplah seorang petani disebuah kampung. Petani tersebut bersama anak laki-lakiny ahidup dalam kekurangan, sehingga tidak jarang ia harus menderita kelaparan.
Namun, sang petani juga memilki seeokor kuda yang sangat bagus, kuda tersebut berwarna putih, bertubuh besar, dan berlari, sangat cepat. Ada banyak orang yang datang kepada sang petani untuk membeli kudanya, namun sang petani tetap tidak mau menjualnya. ketika tetangga-tetangganya bertanya mengapa ia tidak menjual saja kudanya, padahal ia sangat membutuhkan biaya untuk hidupnya. Sang petani selalu menjawab, bahwa bagaimana ia bisa menjual seorang kawan? Kuda tersebut bagi sang petani adalah seorang kawan, ia lebih dari sekedar binatang peliharaan. Tentu saja jawaban tersebut tidak memuaskan para tetangganya yang merasa bahwa jika saja petani tersebut mau menjual kudanya, maka hidupnya akan berubah.
Hingga suatu ketika, kuda milik sang petani tersebut hilang dari kandangnya. Mengetahui hal itu, para penduduk kampung tersebut kemudian mendatangi sang petani. Mereka berkata : “bukankah sudah kami suruh kamu menjual saja kuda tersebut. Sekarang kuda tersebut sudah hilang, mungkin dicuri orang. Dan apa yang kamu dapatkan? Jika saja kamu menjualnya dari dulu, kamu tidak akan rugi. Namun sang petani dengan tersenyum menjawab: “jangan terlalu cepat menyimpulkan, kudaku saat nii hanya hilang dari kandangnya, bukan berarti apa-apa selain ia tidak lagi berada di sini..”
Meski merasa dongkol dengan jawaban sang petani tersebut, para penduduk tidak bisa berbuat apa-apa selain meninggalkan sang petani. Setelah beberapa hari berlalu, kuda tersebut ternyata balik lagi. Bahkan ia membawa kawan-kawannya sesama kuda liar sebanyak 6 ekor. Rupanya, kuda sang petani tidaklah dicuri orang, melainkan pergi sendiri ke hutan. Mengetahui hal tersebut, para penduduk kembali datang kerumah sang petani.
Mereka berkata: kamu benar wahai petani, kuda kamu ternyata membawa keberuntungan. Ia bahkan membawa kuda yang lain ke tempat mu, jika saja kamu menjualnya, kamu tidak akan mendapatkan kuda sebanyak ini.
Sang petani menjawab: “jangan terlalu menyimpulkan, kudaku hanya datang bersama kuda-kuda yang lain.. tidak lebih.. tidak ada urusan dengan untung rugi hidupku.”
Para penduduk kembali dibuat heran dengan jawaban sang petani. Mereka merasa bahwa jelas-jelas kuda tersebut membawa keberuntungan bagi sang petani, kenapa ia malah tidak mengakuinya.
Sang petani yang kini memiliki tujuh ekor kuda liar kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Anak sang petani kini bertugas mengurus dan menjinakkan kuda-kuda liar yang dibawa oleh kuda putih itu. Lalu, pada suatu hari, ketika sanga anak tengah berusaha menjinakkan salah seekor kuda yang bewarna hitam pekat dengan menungganginya, kuda tersebut berontak hingga membuat sang anak terjatuh. Anak sang petani bahkan mengalami patah kaki yang membuat ia tidak bisa berjalan. Mengetahui peristiwa tersebut, para penduduk kembali datang kerumah sang petani.
“kamu benar wahai petani.. kudamu ternyata tidak membawa keberuntungan, jika saja dulu kamu menjualnya, ia tidak akan kabur dan datang lagi membawa kawan-kawannya, maka anakmu pun tidak akan patah kakinya.”
Sang petani berkata:” bukankah sudah kubilang, jangan terlalu cepat menyimpulkan. Kudaku datang bersama kuda liar yang harus dijinakkan, lalu kaki anakku patah. Itu cuma dua peristiwa yang biasa terjadi. Aku tidak pernah bilang bahwa hidupku beruntung atau rugi dengan itu..”
Para penduduk kembali terdiam dengan jawaban sang petani. Dalam hati mereka mencibir bahwa sang petani adalah orang bodoh yang tidak bisa diberi nasehat. Tidak bisa dikasih penjelasan bahwa apa yang dilakukannya itu telah membawa untung baginya.
Hari demi hari berlalu, sementara kondisi anak sang petani masih belum pulih. Hingga para suatu hari, datang rombongan pasukan dan memerintahkankepada para penduduk agar menyerahkan anak-anak mereka yang sehat dan kuat untuk ikut berperang. Para penduduk kampung tersebut, dengan berat hati mereka terpaksa merelakan anak-anak mereka pergi dan ikut rombongan pasukan. Hampir semua anak laki-laki penduduk kampung tersebut ikut, kecuali anak sang petani karena kakinya masih belum pulih. Dalam hati mereka merasa betapa beruntungnya menjadi sang petani. Akhirnya, mereka pun kembali menemui sang petani.
“kamu sangat beruntung wahai petani.. ternyata kecelakaan yang dialami oleh anakmu itu membuat ia tidak harus ikut berperang. Kamu tidak harus berpisah dengan anakmu. Jika saja tidak ada kuda liar yang harus dijinakkan, maka ia tentu sudah pergi seperti anak-anak kami..”
Sang petani terdiam, lalu dengan pelan ia menjawab: “Aku tidak tahu lagu bagaimana berbicara dan menjelaskan kepada kalian, jangan terlalu cepat menyimpulkan! Kalian hanya melihat satu peristiwa dari rentetan peristiwa yang ada.. kita tidak pernah tahu apa yang ada di balik sebuah peristiwa sampai datang peristiwa yang lain.. Jangan berkesimpulan dengan ini aku untung, karena itu maka aku rugi.. belajarlah melihat secara utuh, dan tundalah penilaian untuk sementara. Itu saja.” (Juli Wahyu Pari Dunda, Menjadi Pemimpin Bagi Diri.).

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah manusia memilki kuasa atas rentetan peristiwa yang ia sendiri tidak mengetahui arah dari peristiwa tersebut.

Saya sependapat mungkin dengan pendapat bahwa akal tidak dapat merubah segalanya, dengan akal kita tidak dapat memberikan reaksi postif, yah, hanya positif, saya tidak mengatakan reaksi negatif. Sebab reaksi negatif tidak dipengaruhi oleh akal. Selanjutnya dengan kerangka berfikir tentang apa yang disebut dengan ide maupun gagasan yang ditimbulkan oleh akal nantinya akan di pengaruhi oleh indra, apakah hal tersebut dapat dilakukan, di tunda, atau mungkin tidak sama sekali. Saya merasa titik itulah batas kemampuan manusia, titik dimana manusia tidak lagi dapat melampui hal diluar dari akal. saya bahkan tidak masuk keruangan yang saya sebut psikopatologi atau dalam artian sederhananya adalah usaha khusus yang dilakukan oleh seseorang untuk menguraikan suatu hal atau keadaan psikis yang tidak tampak. Saya bukan tidak percaya akan sesuatu hal yang tidak tampak, akan tetapi dalam paragraf ini saya sepakat bahwa Tuhan menempatkan akal untuk dikemudian hari dapat memahami rentetan peristiwa yang mungkin Ia sutradarai di luar penalaran manusia secara empiris.

Kehidupan bersifat universal yang meliputi segala aspek atau kompenen hidup seorang manusia, kehidupan tidak berakhir ketika seseorang selesai dalam rentetan peristiwa yang di jalaninya atau yang telah di skenario oleh Tuhan, tetapi hidup seseorang dapat dikatakan berakhir apabila dia telah selesai dalam kehidupannya atau dengan kata lain kematian, dan sekali lagi tidak dengan kehidupannya. Sebab, dia akan menjalani kehidupan yang mengkin serupa atau tidak, saya berani mengatakan mungkin dalam hal lain yang bersifat abstrak untuk saat ini ketika kita masih hidup.

Apakah dalam kaitannya dari apa yang telah kita alami, baik dalam berupa rentetan peristiwa atau yang sejenis dengan itu, sehingga kita mendapati kesimpulan terakhir, adalah kuasa kita sendiri, atau bahkan Tuhan mengintervensinya. Saya tidak berbicara banyak tentang itu sebab bukan kapasitas saya untuk memberikan jawaban, akan tetapi dalam kasus serupa saya ingin menyampaikan bahwa konsep keadilan yang manusia fahami adalah tidak sama dengan konsep keadilan yang Tuhan pertimbangkan. Dan saya meyakini itu, hal lain mungkin saya ingin mengatakan bahwa hak dan kewajiban Tuhan tentunya berbeda dengan hak dan kewajiban kita, sebab kita memiliki efek dan dampak, sedangkan Tuhan terbebas daripada itu.

Tuhan adalah bentuk refleksif kejiwaan manusia yang bersifat abstrak, jiwa jelas menurut saya adalah bentuk kedekatan emosional manusia dengan sang pencipta, terlepas dari tindakan manusia dalam membuktikan hal itu. Tidak dapat di usahakan, dipaksa, dan dihilangkan, sebab Tuhan tidak dapat di uji secara akademis, atau keilmuan. Atas dasar sebab itulah kedudukan wahyu dan akal sedikit mengalami benturan dan perdebatan panjang bagi para pemikir, dan saya sekali lagi tidak secara konseptual membahas perbedaan dan kesamaan antara keduanya, sebab menurut hemat saya mereka para filsuf, pemikir, dan kelompok theisme, atau yang sejenis dengan itu mungkin memiliki perbedaan pendapat dengan apa yang saya yakini tentang sebuah konsep ke-Tuhan-an.

Dan pengaruh Tuhan (wahyu), akal, dan indra dari apa yang saya sebut rentetan peristiwa kehidupan manusia mungkin dalam konteks tertentu dipengaruhi oleh wahyu. Tetapi tidak dengan akal, sebab akal hanya alat, atau perantara yang menjembatani wahyu dan juga kehidupan manusia yang kaitannya tentu berpengaruh terhadap rentetan peristiwa dari apa yang kita sebut efek dan dampak akan sebuah usaha manusia dalam melakukan suatu kegiatan tertentu.


****

Lainnya:

Posting Komentar